Arsip:

Workshop

MUNAQOSYAH ILMIAH 4: MENYIKAPI RADIKALISME DAN TERORISME DALAM SUDUT PANDANG SASTRA ARAB

Sabtu (19/6) Departemen Keilmuan Ikatan Mahasiswa Sastra Arab UGM menyelenggarakan Munaqosyah Ilmiah keempat bertajuk “Menyikapi Radikalisme dan Terorisme dalam Sudut Pandang Sastra Arab”. Pada kegiatan kali ini diisi Bapak Rumpokok Setyo Jatmiko selaku alumni Sastra Arab UGM dan Dosen BSA UIN Raden Mas Said, Surakarta dan dipandu oleh M. Habib Ghulam A. Mahasiswa Sastra Arab UGM 2020.

Radikalisme dan terorisme merupakan isu yang terus berkembang dan mengalami modernisasi. Radikalisme merupakan paham yang menganut cara radikal (kekerasan) dalam mencapai tujuannya. Adapun tujuan dari radikalisme adalah mengganti ideologi. Aksi radikalisme mulai muncul di abad ke-7 atau 8 M ditandai dengan perebutan kekuasaan kerajaan pada masa itu. Para pelaku radikalisme biasanya adalah mereka yang tidak bias menerima modernisasi. Ciri-ciri radikalisme adalah revolusioner (memakai kekerasan), fanatik (merasa paling benar), intoleran (tidak mau menghargai orang lain), dan ekslusif (membatasi pergaulan).

Terorisme dimaknai sebagai tindakan melawan masyarakat sipil yang identik dengan kekerasan, ancaman, intimidasi, bahkan pembunuhan untuk menakut-nakuti masyarakat sipil. Ciri khas dari aksi terorisme adalah aksi kekerasan, masyarakat/penonton, politik, korban, menciptakan trauma. “Terorisme berbeda dengan jihad. Jihad merupakan perjuangan yang melibatkan fisik, moral, dan rohani sebagai bentuk kesungguhan dalam beribadah kepada Allah. Jika mengatasnamakan perjuangan dengan membunuh itu merupakan Qital, bukanlah jihad,” Ujar Pak Rumpoko.

Salah satu karya sastra Arab yang menceritakan tentang terorisme adalah novel karya Hajir Abdus Samad yang berjudul Habibi Da’isyi. Novel tersebut menceritakan tentang bagaimana ISIS merekrut orang-orang berdasakan keadaan mereka. Pengarang menjelaskan tentang bagaimana cara untuk bergabung di ISIS, jalur untuk memasuki daerah ISIS melalui Mesir dan hal lainnya

MUNAQOSYAH ILMIAH 2: BAHASA DAN AKSARA ARAB DALAM WARISAN PERADABAN ARAB

Sabtu (24/4) Departemen Keilmuan Ikatan Mahasiswa Sastra Arab UGM menyelenggarakan Munaqasyah Ilmiah Kedua bertajuk “Filologi : Bahasa dan Aksara Arab dalam Warisan Peradaban Arab” dengan peserta mahasiswa dan masyakarat umum. Dalam munaqasyah kali ini, kami mengundang Prof. Dr. Sangidu Asofa, M.Hum selaku Guru Besar Sastra Arab UGM dan Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.Hum selaku Peneliti Manuskrip Arab-Islam di Nusantara yang dipandu oleh Yowiki Tiping Mahasiswa Sastra Arab UGM 2019 sebagai moderator.

Dalam munaqosyah ini, Prof. Sangidu membahas tentang “Transmisi (tradisi) Teks dan Filogenetik Teks”, beliau menyampaikan ada dua tugas utama filolog yaitu menyajikan dan mengintrepresentasikan teks. Literatur yang ditulis tangan disebut dengan manuskrip, sementara hasil tulisan tangan yang ditulis langsung oleh penulis disebut dengan Otografi, dan tulisan tangan yang ditulis oleh juru tulis disebut dengan apografi. Otografi dan apografi disebut dengan arketip, sementara itu dari penulisan tulisan induk kepada generasi setelahnya dapat ditemukan penambahan pemikiran dari penyalin kemudian digunakan metode lachamanian (stemma) untuk melacak tulisan asli dari penulis awal. Ada cara untuk mendeteksi naskah asli yaitu dapat melalui bukti internal seperti kertas yang digunakan terdapat cap khusus sehingga dapat mendeteksi usia kertas dan bukti eksternal.

Sementara itu, dalam munaqsyah ini Dr. Ahmad Ginanjar membahas tentang “Aksara Arab di Nusantara”, beliau menyampaikan bahwa pada zaman dahulu karya sastra ditulis dengan aksara setempat dan aksara arab dalam bahasa setempat, seperti Jawa, Sunda, Bali, dan lain-lain. Di luar negeri tulisan keislaman ditulis dengan aksara Arab meskipun ditulis dengan bahasa setempat. Aksara Arab adalah aksara yang paling luas cakupannya, Aksara Arab diadopsi di Nusantara seiring masuk dan berkembangnya islam. Karena tidak semua dalam bahasa Melayu ada dalam aksara arab, maka muncul perkembangannya.

FOTO DOKUMENTASI:

MUNAQOSYAH ILMIAH 1: PENGARUH ILMU NAHWU DALAM SASTRA ARAB

Minggu (28/3) Departemen Keilmuan Ikatan Mahasiswa Sastra Arab UGM menyelenggarakan Munaqosyah Ilmiah Pertama dengan tajuk Pengaruh Ilmu Nahwu dalam Sastra Arab dengan peserta mahasiswa dan masyarakat umum. Dalam munaqosyah ini, kami mengundang Bapak Hamdan, M.A. selaku Dosen Sastra Arab UGM sebagai narasumber yang dipandu oleh Himatul Rokhmah yaitu Mahasiswa Sastra Arab UGM 2019 sebagai pemandu acara.

Dalam munaqosyah ini, Bapak Hamdan memaparkan bagaimana posisi dan urgensi ilmu nahwu terhadap perkembangan karya sastra Arab pada masa silam hingga kontemporer. Beliau memulai dengan mendefinisikan bahasa Arab sesuai dengan bagaimana kalangan Arab memahaminya. Dalam penuturannya, bahasa Arab merupakan pelafalan yang terdiri dari huruf-huruf dimana huruf itu sendiri merupakan bentuk dari kesatuan antara makhraj (tempat keluarnya huruf hijaiyah) dengan suara. Selama lafaz memiliki maksud/makna, maka ia menjadi bahasa. Namun tak sebatas maksud saja, perlu adanya penyesuaian komposisi lafaz yang diinginkan agar dapat digunakan, dipahami, dan diterima sebagai bagian dari bahasa Arab. Oleh karena itu, untuk mempelajari bahasa Arab dengan baik, kita butuh menapaki anak tangga yang pertama yaitu ilmu nahwu dan ilmu shorof.

Bahasa yang digunakan untuk karya sastra Arab, tergolong bahasa yang lebih rumit dari umumnya karena selain memperhatikan kaidah gramatikal,  mengutamakan sudut estetika berupa kata-kata yang hiperbolis merupakan ciri khas dari bentuk keindahan sastra. Ilmu nahwu sebagai fondasi vital dalam pembentukan ungkapan bahasa Arab, harus beberapa kali menerima penyesuaian dengan kompetensi yang telah ditetapkan bangsa Arab demi lahirnya esensi artistik dari karya sastra tersetbut. Beliau memberikan contoh keelokan makna dalam salah satu karya sastra Arab yaitu kalimat حيل المصاحف. حيل adalah gelombang, sedangkan المصاحف adalah lembaran. Dimaklumi bahwa gelombang bermakna kuat, adapun lembaran bersifat lemah. Dengan menggabungkan kedua hal kontradikif tersebut, disinilah letak sebuah paradoks yang bertujuan agar orang-orang Arab mampu dalam kebersamaan tetap kembali pada kitab-kitab suci.

Foto Dokumentasi:

STUDIUM GENERALE DAN INSPIRING ALUMNI BERKARIR DI KEMENTERIAN LUAR NEGERI: PELUANG DAN TANTANGAN BAGI MAHASISWA SASTRA ARAB

Kamis (11/2) Program Studi Sastra Arab FIB UGM menyelenggarakan studium generale dan inspiring alumni dengan tema “Berkarir di Kementerian Luar Negeri: Peluang dan Tantangan bagi Mahasiswa Sastra Arab”. Kegiatan ini diisi oleh 2 orang alumni Sastra Arab yang bekerja di Kementerian Luar Negeri, yakni Nikmatur Rahman Chaniago (Diplomat Ahli Pertama pada Direktorat Protokol) dan Desthy Umayah Adriani (Diplomat Ahli Pertama pada Direktorat Timur Tengah). Studium Generale dipandu oleh Garin Arivian Muhammad dari Sastra Arab angkatan 2020 selaku moderator acara.

Sastra Arab UGM merupakan salah satu program studi yang patut diperhitungkan dalam hal prestasi dan jejak kesuksesan dari para alumni. Rasa tidak percaya diri dan malu terhadap Program Studi Sastra Arab khususnya, harus mulai ditepis jauh-jauh. Bukan hal tidak mungkin bagi para alumni Sastra Arab bersaing bersama alumni program studi Hubungan Internasional dan lainnya dalam Kementerian Luar Negeri. Penguasaan bahasa asing sangat diperlukan ketika bekerja di Kementerian Luar Negeri, mencoba terus meningkatkan kapasitas diri dan perluas wawasan perihal pengetahuan umum dan politik luar negeri.

Kak Ago, begitulah Nikmatur Rahman Chaniago biasa disapa. Setelah lulus dari Sastra Arab UGM, beliau melanjutkan studi lanjut di The Australian National University jurusan centre of arabic and islamic studies. Setelah selesai menempuh pendidikan S-2, Kak Ago berniat mendaftar sebagai dosen di sastra arab UGM. Tetapi, hal yang menyebabkan hal tersebut tidak terlaksana. Pada akhirnya, Kak Ago mencoba untuk mendaftar dan bergabung di Kementerian Luar Negeri. “Well, you have to keep your option opens. Jangan terfokus hanya pada satu hal saja, it’s fine punya goal. Tapi, usahakan opsi lain tetap terbuka,” ujar Kak Ago.

Sharing session dari Kak Desthy diawali dengan pemaparan informasi perihal rekrutmen CPNS. Seleksi diawali dengan administrasi, kemampuan dasar, kompetisi bidang, pengumuman, pelatihan dasar ASN, dan Sekolah Dinas Luar Negeri/Sekolah Diplomat Junior. Wawancara ketika seleksi bukanlah hal yang sederhana, wawasan, perhatian terhadap isu-isu, tanggapan terhadap isu-isu, dan jawaban akan tantangan sebagai diplomat perempuan harus dijawab dengan tepat.  Sebagai seorang diplomat, mereka dituntut agar menjadi sosok yang generalist bukan spesialist. “Jangan cepet puas, jangan males, semuanya gak ada yang sia-sia,” ujar Kak Desthy.

Foto Dokumentasi :